Minggu, 09 Oktober 2011

0
Metabolisme Sekunder Kapang


A.  Metabolisme Sekunder Kapang
Substansi kimia alamiah hasil metabolisme sekunder mikroorganisme disebut denga antibiotik, yang mempunyai kemampuan baik menghambat pertumbuhan maupun membunuh mikroorganisme lain. Definisi tersebut sangat terbatas, karena sekarang banyak molekul yang diperoleh melalui sintesis kimia, mempunyai  aktivitas terhadap mikroorganisme. Sekarang istilah antibiotika berarti semua substansi baik yang berasal dari alam maupun sintetik yang mempunyai toksisitas selektif terhadap satu atau beberapa mikroorganisme tujuan, tetapi mempunyai toksisitas cukup lemah terhadap inang (manusia, hewan, atau tumbuhan) dan dapat diberikan melalui jalur umum.
Ada sebagian antibiotik diduga bisa menyebabkan imunosupresi, diantaranya tetrasiklin, sulfonamid, penisilin, chlorampenicol dan streptomisin. Guna membuktikan hal tersebut Medion telah melakukan trial pengaruh pemberian Sulfamix (sulfadimetilpirimidin) dan Medoxy-L (oksitetrasiklin) terhadap pembentukan titer antibodi ND hasil vaksinasi menggunakan Medivac ND La Sota. Salah satu organisme penghasil antibiotika yang sedang banyak dibicarakan sekarang ini adalah fungi endofit. Fungi endofit biasanya terdapat dalam suatu sistem jaringan seperti daun, ranting, atau akar tumbuhan. Fungi ini dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol,1988 ; Clay, 1988). Asosiasi beberapa fungi endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, baik bakteri maupun jamur (Bills dan Polyshook, 1992).

B.  Fungi Endofit
Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam sistem jaringan tumbuhan, seperti daun, bunga, ranting ataupun akar tumbuhan (Clay, 1988).  Fungi ini menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol, 1988 ; Clay, 1988).
Asosiasi fungi endofit dengan tumbuhan inangnya, oleh Carrol (1988) digolongkan dalam dua kelompok, yaitu mutualisme konstitutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara fungi dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Pada kelompok ini fungi endofit menginfeksi ovula (benih) inang, dan penyebarannya melalui benih serta organ penyerbukan inang. Mutualisme induktif adalah asosiasi antara fungi dengan tumbuhan inang, yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara. Jenis ini hanya menginfeksi bagian vegetatif inang dan seringkali berada dalam keadaan metabolisme inaktif pada periode yang cukup lama.
Banyak kelompok fungi endofit yang mampu memproduksi senyawa antibiotika yang aktif melawan bakteri maupun fungi patogenik terhadap manusia, hewan dan tumbuhan, terutama dari genus Coniothirum dan Microsphaeropsis (Petrini et al., 1992). Penelitian Dreyfuss et al. (1986), menunjukkan aktivitas yang tinggi dari penisilin N, sporiofungin A, B, serta C yang dihasilkan oleh isolat-isolat endofit Pleurophomopsis sp. dan Cryptosporiopsis sp. yang diisolasi dari tumbuhan  Cardamin heptaphylla Schulz. Lebih lanjut, suatu penelitian yang dilakukan oleh Tscherter dan Dreyfuss (1982) dalam Petrini et al. (1992) menghasilkan suatu kesimpulan bahwa galur-galur endofit Cryptosporiopsis pada umumnya merupakan penghasil senyawa antibiotika berspektrum lebar. Isolat fungi endofit Xylaria spp. juga memiliki potensi besar dalam penelitian-penelitian industri farmasi maupun pertanian. Suatu strain Xylaria yang diisolasi dari tumbuhan epifit di Amerika Selatan dan Meksiko dilaporkan dapat menghasilkan suatu senyawa antibiotika baru dari kelompok sitokalasin (Dreyfuss et al., 1986).
Penelitian Brunner dan Petrini ( 1992) yang melakukan seleksi pada lebih dari 80 spora fungi endofit, hasilnya menunjukkan bahwa 75 % fungi endofit mampu menghasilkan antibiotika. Fungi endofit Xylotropik, suatu kelompok fungi yang berasosiasi dengan tumbuhan berkayu, juga merupakan penghasil metabolit sekunder. Pada suatu studi perbandingan yang dilakukan terhadap berbagai fungi, lebih dari 49 % isolat Xylotropik yang diuji menunjukkan aktivitas antibiotika, sedangkan fungi pembandingnya hanya 28 % (Petrini et al., 1992).
Fungi endofit juga mampu menghasilkan siklosporin A, yang berpotensi sebagai antifungal dan bahan imunosupresif (Borel et al., 1976 ; Petrini et al., 1992). Siklosporin dihasilkan oleh strain Acremonium luzulae (Fuckel) W. Gams, yang diisolasi dari buah strawberry (Moussaif et al., 1977). Senyawa antibiotika lainnya seperti sefalosporin mulanya dihasilkan oleh satu strain Cephalosporium dan Emericellopsis (Acremonium). Selanjutnya juga ditemukan pada fungi Anixiopsis, Arachnomyces,Diheterospora, Paecilomyces, Scopulariopsis dan Spiroidium (Morin dan Gorman, 1982).
Fungi endofit Acremonium coenophialum yaitu yang berasosiasi dengan rumput-rumputan dapat menghambat pertumbuhan patogen rumput Nigrospora sphaerica, Periconia sorghina dan Rhizoctonia cerealis (White and Cole, 1985). Fungi endofit lainnya seperti Taxomyces andreanae dapat menghasilkan senyawa taxol yang berguna sebagai obat anti kanker (Strobel et al., 1996). Menurut Bacon (1988), fungi endofit yang mempunyai nilai komersial dalam bidang farmasi, antara lain Balansia spp. dan Acremonium coenophialum.
Fungi endofit dapat menjalin kehidupan bersama dengan tumbuhan inang, dan mampu melindungi tumbuhan inang dari beberapa patogen virulen, diantaranya adalah Acremonium coenophialum. Berbagai senyawa antibiotika yang sangat berguna yang dihasilkan oleh fungi endofit antara lain siklosporin oleh Acremonium luzulae, dan senyawa taxol oleh Taxomyces andreanae.
  Pemakaian antibiotik dan obat hewan yang tergolong obat keras perlu memperhatikan waktu henti. Setelah waktu henti terlampaui diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada di bawah BMR sehingga produk ternak aman dikonsumsi.
Tidak dipatuhinya waktu henti obat kemungkinan disebabkan
a)      bahaya residu anti-biotik pada pangan asal ternak belum dipahami,
b)      peternak belum mengetahuiwaktu henti obat setelah pemakaian antibiotik, dan
c)      banyak perusahaan obat hewan tidak mencantumkan waktu henti obat dan tanda peringatan khusus.
Beberapa pabrik pakan telah melakukan uji mutu bahan baku pakan dan pakan komersial yang diproduksinya. Pemeriksaan dilakukan terhadap bau, ketengikan, jamur, serta kandungan aflatoksin. Sebagian pabrik pakan (50%) juga memeriksa cemaran mikroba patogen. Selain cemaran aflatoksin, logam berat, dan mikroba, juga ditemukan senyawa obat-obatan seperti golongan antibiotik, koksidiostat, dan antijamur yang secara sengaja dicampur ke dalam pakan (ransum) untuk tujuan tertentu seperti sebagai pemacu pertumbuhan.
Hampir semua pakan komersial (85,70%) mengandung antibiotik, 50% mengandung koksidiostat, dan 33,30% mengandung obat antijamur. Hal ini mempertegas bahwa peluang adanya residu antibiotik dan obat-obatan lainnya pada daging dan telur ayam semakin besar.
Masalah Mikotoksin pada Pakan. Selain mengandung antibiotik, pakan dan bahan pakan ayam di Indonesia juga tercemar berbagai mikotoksin seperti aflatoksin, zearalenon, cyclopiazonic berkembangnya isu tentang tanaman transgenik, yaitu tanaman hasil rekayasa genetik seperti jagung Bt dan kedelai Bt yang diproduksi Amerika Serikat.
Sebagian ilmuwan mengkhawatirkan dampak negatif akibat mengkonsumsi produk pertanian hasil rekayasa genetik tersebut. Kekhawatiran ini juga dapat terjadi pada produk ternak yang proses budi dayanya menggunakan produk-produk tanaman transgenik seperti jagung Bt dan kedelai Bt.
Sapi yang diberi pakan dasar jagung Bt tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan bobot badan dan performan lainnya, tetapi penelitian ini tidak mempelajari aspek kesehatannya. Sampai saat ini, kekhawatiran terhadap keamanan produk ternak akibat konsumsi tanaman transgenik masih menjadi perdebatan, baik di kalangan ilmuwan maupun pemegang kebijakan dan masyarakat luas.
Meat and Bone Meal pada Pakan. Permasalahan lain pada pakan adalah kekhawatiran penggunaan meat and bonemeal (MBM) sebagai campuran pakan, terutama untuk ternak ruminansia. Hal ini berkaitan dengan isu penyakit sapi gila yang salah satu penularannya diduga kuat melalui penggunaan MBM asal ternak ruminansia yang menderita atautertular penyakit sapi gila (Darminto danBahri 1996; Sitepu 2000).
Dengan demikian, pakan yang mengandung MBM berpotensi menghasilkan produkternak yang tidak aman bagi kesehatanmanusia. Oleh karena itu, negara-negara Uni Eropa dan Amerika telah melarang penggunaan MBM untuk pakan ternakruminansia.
Kontaminan Lain pada Pakan. Berbagai kontaminan baik berupa bahan kimia maupun mikroorganisme dapat mencemari pakan secara alami maupun non alami. Beberapa contoh kasus ini adalah cemaran dioksin pada daging ayam dan babi serta susu dan telur yang terjadidi Belgia, Belanda dan Perancis pada tahun 1999.
Dalam kasus ini, kandungan dioksin pada telur ayam berkisar 265–737pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak, dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan ambang maksimal kandungandioksin adalah 1 pg/g lemak.
Pencemaran bersumber dari salah satu bahan pakan yang diproduksi oleh suatu perusahaan di Eropa. Kontaminasi lainpada pakan seperti logam berat, senyawa pestisida maupun senyawa beracun lainnya setiap saat dapat terjadi dan akan mempengaruhi keamanan produk ternak yang dihasilkan. 

C.  Mikotoksin
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin. Jamur yang tumbuh pada ransum dan bahan baku ransum dapat dengan mudah dimatikan, namun tidak demikian dengan racun jamur yang terbentuk. Racun itu sangat sulit untuk dihilangkan.
Racun jamur yang terkonsumsi oleh ayam biasanya tidak langsung dikeluarkan dari tubuh, namun akan terakumulasi dan saat kadarnya telah mencapai titik tertentu (batas normal) maka ayam akan mulai menunjukkan gejala. Salah satunya ialah melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering disebut imunosupresi. Imunosupresi yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat kronis. Namun jika konsentrasi tinggi akan bersifat akut.
Imunosupresi merupakan gejala awal saat kadar mikotoksin relatif rendah, selanjutnya terjadi gangguan metabolisme, timbul gejala klinis dan akhirnya timbul kematian.
Dari sekitar 300 jenis mikotoksin yang telah terdeteksi dari 100.000 spesies jamur, setidaknya ada 4 jenis mikotoksin yang bersifat imunosupresi pada ayam, yaitu aflatoksin, ochratoksin, fumonisin dan trichothecenes (T2).



Daftar Pustaka
http://www.majalahinfovet.com/2007/10/peran-pakan-dalam-keamanan-produk.htm
http://makalahbiologiku.blogspot.com/2010/07/metabolisme-sekunder.html
http://zaifbio.wordpress.com/2009/02/09/

0 komentar :

Posting Komentar

Berita di BEM STKIP Hamzanwadi Selong

Berita dan Fakta Ilmiah Harian

 
HMPS Pendidikan Biologi STKIP Hamzanwadi Selong | © 2010 by derajad | Supported by duaderajad & Free Themes